WEDHA: What I've Learned



Written by Sungging Priyanto

WPAP community http://wpapcommunity.com/wpap/index.php?option=com_content&view=section&layout=blog&id=2&Itemid=56#ixzz1VLjTiqAK

"KITA INI SUDAH TERLALU LAMA DIJAJAH SECARA VISUAL."

Gambar pertama saya (berupa komik) dimuat di media massa di Semarang. Nama korannya, kalau tidak salah, Angkatan Bersenjata. Hahaha… Baru satu semester kuliah jurusan arsitektur, saya putuskan meninggalkan kuliah. Lalu muncul penyesalan. Kuliah sudah ditinggal, begitu di luar ternyata mentok. Wah, penyesalan luar biasa. Saya sempat heran, di daerah sudah berkali-kali juara. Tapi begitu di Jakarta susahnya setengah mati. Coba berprinsip seperti supermarket. Sedia apa saja. Mau telor ada, barang elektronik tersedia, celana dalam juga siap.

Saya menciptakan konsep dan teknik sendiri yang sayaberi nama Kata Mata dalam komposisi. Pendekatannya menggunakan ilmu pasti. Seniman kalau ditanya karya, jawabannya intuitif. Saya tidak. Alasan dan tujuan saya logis dan tidak terbantahkan. Saya pakai kombinasi beberapa ilmu, seperti matematika, fisika, ilmu aura dan filosofi China. Jadi kebenarannya, kalau ilmu pasti 2 x 2 = 4, konsep saya 2 x 2 = 3.9. Masih saya sisakan untuk soal rasa. Tua bukan gangguan. Ketika mata saya mulai bermasalah, saya justru berinovasi dengan menciptakan Foto Marak Berkotak yang kemudian menjadi Wedha’s Pop Art Portrait. Karya pop art ala saya bukan mozaik atau kubisme, walaupun kubistis. Tapi keturunan dari seni rupa modern, anak kandung Dadaisme. Seniman itu katanya punya ego tinggi. Menurut saya pop art yang kita kenal sudah kadaluarsa. Seperti Andi Warhol. Kalau sekarang dia masih hidup dan lihat pop art saya, mungkin dia menyesal dan malu karena terlihat kurang cerdas. Warhol beruntung karena dia adalah public relation yang baik untuk karyanya.

Seniman kita juga harus begitu. Jangan apa-apa orang asing. Sehebat-hebatnya, tetap saja buruh asing. Kita ini sudah terlalu lama dijajah secara visual. Katanya, dengan pekerjaan ilustrator masih susah untuk melamar anak orang. Makanya jangan hanya menganggap seni itu sebatas seni. Harus juga berpikir seperti pedagang. Jangan terlalu nyeni! Desainer visual itu harus seperti peselancar yang baik. Mempelajari ombak, alias tren dan dinamika sosial masyarakat yang berubah-ubah. Paling penting bekerja di bidang yang kita suka. And, do zig when others zag. Be extraordinary person. Kalau nggak bisa begitu, jadi orang baik saja. Orang baik itu aman, di manamana diterima.'

Memandang nasionalisme jangan sempit. Contohnya, bikin komik Dewi Nawang Mulan, Borobudur, dan wayang lagi. Siapa yang mau baca? Berkarya saja yang menarik, berdagang biar duit kuat. Kalau ada duit, bisa untuk riset dan berkembang. Saat menciptakan karakter visual Lupus, saya nggak berpikir rumit. Saya hanya berpikir soal tren. Ikon ini harus catchable, unik, ringkas, dan mudah ditiru. Saya nggak mau seperti kebanyakan orang pensiunan dari angkatan saya, kerjanya mondar mandir mushola doang. Hahaha!


No comments

Powered by Blogger.